Berbicara mengenai permasalahan lingkungan tentu tidak akan ada habisnya, terutama yang disebabkan oleh timbulan sampah plastik. Pada era modern sekarang ini, gaya hidup orang modern cenderung memiliki ketergantungan terhadap barang berbahan dasar plastik. Alasan penggunaan barang berbahan dasar plastik dalam aspek kehidupan antara lain karena harganya yang lebih terjangkau, lebih tahan air daripada paperbag, dan juga dapat digunakan kembali. Namun tidak semua barang berbahan dasar plastic sejatinya dapat digunakan kembali, contohnya saja air minum dalam kemasan yang terbuat dari plastic. Penggunaan kemasan tersebut hanya boleh digunakan satu kali saja, lalu dibuang. Selain itu juga ada plastic-plastik pembungkus makanan yang hanya dapat digunakan sekali pakai. Plastic-plastik sekali pakai inilah yang kemudian menyebabkan timbulan sampah semakin menggunung.
Mayoritas dari kita terlena dengan efektivitas plastic ini, sehingga membuat kita buta akan efek yang ditimbulkan plastic terhadap lingkungan yang kita tempati. Plastic bukanlah barang yang mudah terurai, butuh jutaan tahun bagi plastic untuk dapat terurai. Belum lagi, rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengelola limbah plastic agar tidak membahayakan lingkungan hidup. Masyarakat cenderung lebih memilih untuk sekedar membuangnya tanpa ada pengelolaan limbah lebih lanjut. Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya limbah plastic yang dibuang ke sungai yang mana kemudian akan sampai ke laut, sehingga menyebabkan pencemaran laut. Pencemaran laut yang disebabkan oleh limbah plastic inilah yang kemudian mengancam ekosistem laut.
Sampah plastik hingga saat ini masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia dan negara lain di dunia. Di Tanah air tercinta kita sendiri yang memiliki lautan yang luas, sampah plastik telah menyebarluas mencapai dua pertiga dari total luas Indonesia.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Selanjutnya disebut KIARA) mencatat, bahwa setiap tahun ada sedikitnya sebanyak 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan. Dari jumah tersebut, dapat dikatakan bahwa ada sebanyak 13.000 plastik mengapung di setiap kilometer persegi setiap tahunnya. Hal ini kemudian menganugerahkan Indonesia sebuah gelar ‘Juara Kedua’ di bidang ‘Produksi Sampah Plastik Terbanyak di Lautan.’ Indonesia hanya kalah dari Negeri Tirai Bambu saja dalam ‘Perlombaan’ ini.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, mengatakan bahwa semakin banyak sampah platik di lautan, maka semakin besar ancaman bagi kelestarian ekosistem di laut. Memang plastik bukan satu-satunya ancaman yang ada bagi ekosistem laut, namun perlu diingat bahwa dampak dari sampah plastik yang ‘mengarungi’ lautan sangat berbahaya bagi ekosistem laut. Dalam 11 tahun terakhir, jumlah plastik yang ada di laut mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dengan kemasan dan bungkus makanan atau minuman menjadi penyumbang sampah plastik terbanyak. Pendidikan dan penyadaran mengenai laut dan sampah plastik penting dilakukan bersama oleh lintas kementerian seperti KKP, KLHK, dan Kemenko Maritim. Karena sampai saat ini, laut masih dipahami sebagai tempat pembuangan akhir sampah manusia oleh kebanyakan masyarakat.
Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Jose Tavares, mengatakan, permasalahan sampah yang ada di laut dari ke hari memang semakin tidak terbendung. Volume sampah yang ada di laut, juga terus meningkat dengan cepat. Kondisi itu, menjadikan laut sebagai kawasan perairan yang awan dan menghadapi persoalan sangat serius. Sampah plastik tidak hanya mencemari lautan, tetapi juga membahayakan kelangsungan mahluk hidup.
Peringatan tentang bahaya sampah plastik sebenarnya sudah mulai didengungkan dalam berbagai literature ilmiah pada awal 1970-an. Sayangnya, pesan ini hanya memicu segelintir reaksi dari komunitas ilmiah. Seiring ledakan populasi dunia, plastik semakin massif diproduksi dengan berbagai variannya. Kita baru memberi perhatian serius pada dasawarsa terakhir, dimana ‘bom waktu’ masalah plastik telah meledak.
Pemberitahaan oleh media tentang sampah plastik yang menutupi laut. Meski krisis sampah plastik telah memuncak jadi isu global, pengetahuan kita tentang plastik dan mikroplastik, termasuk dampaknya ketika mereka bermuara di laut, masih amat terbatas. Ditambah ketergantungan kita sebagai manusia terlanjur sangat bergantung pada plastik.
Sampah plastik sulit terurai, kantong plastik sendiri termasuk sampah plastik yang paling cepat terurai, namun ‘cepat’ tersebut masih memakan waktu hingga 10 sampai 20 tahun. Sedangkan yang paling lama adalah botol plastik yang memakan waktu 450 tahun untuk terurai. Selain sulit terurai, sampah plastik yang berukuran kecil juga mengganggu pencernaan dan meracuni biota laut bila termakan oleh mereka. Selain itu, sampah plastik juga dapat melukai biota laut dengan menjerat mereka. Plastik yang telah ‘menyelam’ ke dalam laut juga mengganggu terumbu karang dengan menutupi permukaannya, yang membuat terumbu karang sulit untuk bernapas.
Sampah plastik di laut tidak hanya tergenang di tengah lautan yang luas saja, ekosistem mangrove yang terdapat di pinggiran pantai juga terganggu oleh adanya sampah plastik. Plastik yang tersangkut di akar mangrove menyebabkan mangrove tidak bisa bernapas dan mengganggu pertumbuhannya.
Dari data di atas terlihat betapa banyaknya pihak yang dirugikan dan ekosistem yang terganggu hanya karena sampah plastik yang kita buang hanyut ke sungai dan bermuara.Plastik telah menjadi masalah bersama dan usaha untuk menanganninya pun masih kurang. Terutama terhadap dampaknya terhadap ekosistem laut, tentu akan berdampak pada seluruh ekosistem di bumi ini. Meskipun hamper seluruh masyarakat mengetahui dan meyakini bahwa limbah plastik dapat merusak ekosistem, melalui teori disonasi kognitif manusia cenderung melakukan hal yang di luar keyakinannya, dalam hal ini meskipun semua masyarakat mengetahui dan meyakini akan dampak plastik terhadap lingkungan tidak akan menjamin masyarakat untuk mengurangi penggunaan sampah plastik, terutama jika plastik masih menjadi bahan yang paling sering digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari – hari.
Menangani masalah plastik tidak cukup hanya dari masyarakat saja, perlu upaya dari seluruh pihak yang terlibat atas adanya plastik. Perlu integrasi upaya dari industri plastik dari hulu ke hilir , pemerintah dan masyarakat. Perlu di kaji ulang terkait industri plastik dan pengelolaan limbah plastik yang lebih eco friendly. Atau bahkan mengembangkan bahan pengganti plastik yang lebih ramah lingkungan, karena menjadi peringkat kedua sebagai negara yang membuang sampah plastik ke sengai bukanlah sebuah prestasi, melainkan tamparan bagi kita untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem. Pada akhirnya semua sampah plastik yang tidak terurai akan berakhir ke laut, dan upaya untuk membersihkan sampah plastik dari laut tidak akan terselesaikan tanpa pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab dan proses produksi yang tidak mencemari lingkungan disertai dengan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.