Sampah adalah salah satu permasalahan yang sejak dahulu menjadi bahan perdebatan yang
panjang, dari cara mengelola, mengurangi sampai membuat kebijakan; akan tetapi intervensi
tersebut tidak berdampak secara signifikan mengatasi permasalahan utama. Salah satu
permasalahan yang menjadi topik utama dalam artikel ini adalah sampah plastik. Plastik
merupakan limbah yang sulit terurai yang membutuhkan waktu yang lama, karena sifat yang
susah diurai inilah yang menjadikan permasalahan yang sangat crucial yang berdampak dan
mempunyai hubungan dengan pembuangan limbah plastik ke laut; Kenapa laut? Karena sudah
tidak ada tempat yang cukup untuk menampung sampah di daratan, maka dari itu laut salah satu
jawaban yang dianggap menjadi penyelesaian masalah dari limbah itu sendiri, padahal dalam hal
ini, itu bukan lah sebuah jawaban penyelesai masalah, sampah plastik yang dibuang ke laut tidak
semerta-merta hilang, sampah itu akan terombang-ambing yang dapat merusak ekosistem laut,
karena plastik yang terekspos oleh cahaya matahari, angin dan air akan mengurai menjadi
microplastic yang memiliki bentuk dan bau seperti makanan, yang nantinys akan dimakan oleh
ikan-ikan di laut. Menurut World Economic Forum tahun 2050 merupakan tahun yang dimana
populasi ikan laut akan lebih sedikit daripada sampah plastik yang ada di laut.
Dengan permasalahan seperti itu, salah satu langkah nyata sudah dilakukan oleh salah satu nongovernmental organization bernama Ocean Cleanup. Ocean Cleanup1 merupakan lembaga
swadaya berasal dari Belanda yang mempunyai misi untuk membersihkan samudra pasifik
dengan menggunakan alat yang bisa dianggap sangat konvensional, yaitu dengan menggunakan
pelampung dengan alat pengaman yang disertakan juga GPS, alat ini disebut dengan nama
sistem 001; sistem ini dibuat untuk merangkap plastik sampai berskala beberapa milimeter, jaring
yang digunakan juga aman untuk biota laut, sehingga dapat berenang di sekitaran jaring sistem
001 ini. Gerakan Ocean Cleanup ini dimulai disaat CEO dari Ocean Cleanup bernama Boyan Slat
yang pada saat itu berumur 16 menyelam di sekitar Yunani dan menyadari bahwa lebih banyak
plastik yang ia lihat daripada ikan. Selama program Ocean Cleanup ini berjalan diperkirakan
sudah 50 ton plastik terangkat, dan cita-cita berikutnya pada tahun 2040 pulau sampah yang ada
di samudra pasifik 90% dapat berkurang.
Intervensi untuk menyelesaikan permasalahan sampah tidak hanya dilakukan oleh nongovernmental organization namun juga oleh pemerintahan pusat. Seperti contoh Indonesia dalam Our Ocean Conference 2019, menyampaikan komitmennya untuk mengurangi sampah plastik di lautan sampai 70% pada 2025. Cara mereka melakukan hal tersebut adalah dengan bekerjasama dengan perusahaan dan lapisan masyarakat sipil lainnya.
Mereka juga mengatakan akan mengurangi limbah padat hingga 30% dan meningkatkan pengelolaannya hingga 70% pada tahun 2025. Langkah yang sudah diambil meliputi pengeluaran peraturan Pemerintah Daerah
(Pemda) seperti membatasi pemakaian tas plastik di Bali dan Banjarmasin. Perencanaan ini
dibuat karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan pengelolaan sampah plastik yang
buruk. Sampah plastik dibuang sembarangan dan banyak dari pembuangan tersebut yang tidak
secara formal dikelola dan dibuang di lahan terbuka yang tidak dikontrol secara sufisien oleh
pemerintah. Pengelolaan inilah yang meningkatkan kemungkinan limbah plastik untuk berakhir di laut.
Terdapat jarak yang besar antara negara di Asia dan negara-negara lainnya dalam Mismanaged
waste atau pengelolaan plastik yang salah. Penelitian yang dilakukan oleh Jambeck, J. R. pada
2010 menemukan pengelolaan plastik yang tidak benar di Wilayah Asia Timur dan pasifik
mencapai 60% dari total di seluruh dunia. Disusul dengan Asia Selatan yang berkontribusi 11%,
5 kali dibawah pengelolaan di Asia Timur. Akan tetapi, yang menarik dari penelitian tersebut
adalah negara-negara dengan penghasilan yang tinggi seperti Eropa dan Amerika Utara
walaupun merupakan penghasil limbah plastik tertinggi di dunia, hampir semua limbah tersebut
dikelola dengan benar sehingga jarang limbah plastik yang sampai ke lingkungan hidup.
Contohnya di Amerika penggunaan llimbah plastik perorangan sehari-hari mereka merupakan
yang terbesar di dunia dengan total 0.34 kg. Angka tersebut hampir 10 kali lipat lebih tinggi dari
negara-negara lain seperti India yang penggunaan plastik sehari-harinya hanya mencapai 0.01
kg per orang. Akan tetapi, pengelolaan plastik yang salah di Amerika hanya mencapai angka
0.89% dari total di dunia.
Saat ini dunia memproduksi lebih dari 380 juta ton limbah plastik tiap tahunnya 2. Walaupun tidak
semua limbah tersebut yang akan sampai di Laut, kebanyakan tertahan di tempat pembuangan
sampah. Pengelolaan yang tidak benar membuat banyak dari limbah plastik berakhir di Laut. Jika
dibiarkan makin banyak biota laut yang akan menghilang dari dunia ini. Dampak tersebut juga
akan dirasakan oleh penerus kita dimana mikroplastik yang ada di laut akan menyebabkan ikan
yang kita makan menjadi tidak sehat. Yang paling menakutkan adalah jumlah mikroplastik di permukaan laut akan meningkat terus walau kita menghentikan penggunaan plastik kita karena
plastik besar yang ada di garis pantai dan permukaan laut akan terus rusak dan menjadi
mikroplastik. Jika ingin menyelesaikan masalah tersebut maka dunia harus berhenti membiarkan
sampah plastik masuk kedalam saluran air. Terutama di negara dengan pendapatan menengah
dan rendah, mengingat sebagian besar dari mereka mempunyai praktik pengelolaan limbah yang
buruk. Tidak hanya itu, pemerintah dan masyarakat juga harus mulai melaksanakan pembersihan
laut dari sampah plastik yang mengambang di pinggiran laut maupun di permukaannya.