Pengalaman Cerita Diksar XXXIII “Adhigana Adhimukti”

Lahirnya Enam Butir Intan


Diksar kali ini terasa berbeda dari sebelum – sebelumnya. Komposisi anggota yang tidak seperti biasanya yang mana kali ini didominasi oleh perempuan. Diksar kami terdiri dari empat perempuan, yaitu Koci, Beril, Amon, dan Sija. Sedangkan dua laki-laki lainnya, yaitu Biting dan Bongkot. Nama-nama tersebut diberikan di suatu malam yang tidak pernah kami duga, saat kami berkumpul di suatu sudut di Gedung VII Fakultas Hukum UGM. Komposisi yang terlihat berat ini teratasi dengan baik karena ikatan yang terjalin dengan kuat, walau hanya dengan waktu yang cukup singkat. Bukan hanya sekedar ikatan sebagai calon anggota organisasi yang tercipta, melainkan ikatan sebagai suatu keluarga.

Kami lalui petualangan kami dengan penuh semangat dan tekad yang kuat. Memanjat tebing yang menjulang tinggi di tengah semilir angin berhembus hari itu demi menggegam sehelai slayer yang gagah itu. Bukan hanya sehelai kain merah biasa, tetapi juga sebuah bentuk perjuangan dan kebanggaan. Meski setelah gagal berkali – kali dan kemudian berusaha lagi dan lagi, akhirnya sehelai kain merah yang kami perjuangkan itu terpasang gagah melingkari leher kami.

Lokasi berikutnya kami raih dengan bulir-bulir peluh yang membasahi kening. Teringat dengan jelas tentang tawa-tawa yang tercipta disela pembicaraan kami didalam bus kota. Bus demi bus kami santuni, terminal demi terminal kami sambangi, perjalanan kami lancar ditemani rasa kantuk yang kadang menghampiri.

Destinasi utama sudah didepan mata. Tekad kami makin kuat untuk tetap mempertahankan kain merah yang melingkar, membalut setiap sisi leher kami. Bersama-sama kami melangkah dan membuat ikatan antara kami kian erat sebab jalan yang harus kami tempuh akan sangat berat tanpa kerja sama yang kuat.

Sinar mentari perlahan sirna, tergantikan merahnya langit senja. Kami mulai bergegas menyiapkan tempat untuk berteduh. Dengan bekal pengetahuan yang kami punya, serta antusiasme menggebu membuat semesta dipenuhi riuh. Udara dingin membalut tubuh kami seiring gelap menyelimuti langit. Di bawah sinar rembulan, kami menikmati hangatnya mie instan dan secangkir minuman hangat. Sederhana namun berkesan.

Pagi kami kali ini disambut hangatnya sinar mentari di tengah udara dingin yang menggerogoti sejak semalam. Kami bersiap-siap untuk melangkahkan lagi kaki kami. Memulai pergerakan pagi yang cerah kala itu dengan gairah yang menyala-nyala. Hingga tibalah di tanah lapang yang sangat miring, setidaknya kemiringannya tidak berpengaruh sama sekali terhadap kewarasan kami. Di tanah yang luas itu kami membidik objek yang berada tepat di depan mata kami, menentukan dimana tepatnya posisi kami. Meski letih tapi tak menyurutkan semangat kami sama sekali. Pantang menyerah jalanan setapak kami susuri lagi. Tanah basah sering kali membuat kami terpleset dan jatuh namun kami saling bahu membahu. Suara gesekan ranting pohon dan hembusan angin menemani perjalanan. Sesuatu yang tidak mungkin kami dapatkan di hiruk pikuk kehidupan metropolitan.

Waktu telah tiba, kami pulang membawa sejuta cerita dan beribu-ribu pertanyaan yang menghantui, “Apa yang selanjutnya akan terjadi? Melepas kantuk yang sudah tak terhankan atau melanjutkan perjalanan kami?” Pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah dengan gampang terjawab karena terdapat sebuah kejutan yang sudah kami nantikan selama ini. Malam itu, kami diberi pengarahan untuk mengikuti serangkaian petunjuk yang sudah dipersiapkan. Kami tidak tahu akan dibawa kemana, atau bahkan akan disuruh apa. Langkah demi langkah kami lalui, hembusan angin malam membuat pertanyaan-pertanyaan itu memuncak. Setelah sampai di tujuan, kami disuruh duduk dengan mata yang tetap tertutup. Tidak ada suara sedikitpun yang kami dengar, hanyalah suara petikan gitar yang membangunkan jiwa dan raga. Petikan gitar tersebut tampak tak asing di telinga kami. Ya, itu adalah lagu hymne yang selama rangkaian ini kami nyanyikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa mendengarkan kembali lagu itu membuat bulu kuduk kami merinding. Entah apa yang kami rasakan, semua perasaan bercampur aduk tak karuan. Mata pun tidak dapat membendung tetesan-tetesan air mata yang mulai mengalir. Kain merah menjadi saksi bisu betapa bahagianya kami malam itu. Ya, malam itu adalah malam pelantikan.

Kami pun diarahkan untuk berdiri, lalu membuka kain merah yang masih mengikat menutup mata. Melihat sekeliling dan menyadari bahwa semua hadir untuk merayakan kehadiran kami. Tak ada waktu untuk menangis terharu, yang kami lakukan selanjutnya adalah mencium bendera M-55. Setelah itu kami disuapi magelangan oleh bapak dansar kita dilanjutkan bersalaman dengan anggota yang lain. Saat itu air mata tak bisa kami bendung lagi.